- Ramadhan
Ramadhan tahun ini tidak ada acara buka bersama. Kalaupun ada, aku pastikan tidak akan ikut. Kata Bu Rida, kalau silaturahmi menimbulkan 'iri', baiknya tidak perlu. Toh masih ada kontak WhatsApp untuk tetap jaga ikatan perteman/saudaraan. Tidak semenghilang itu.
Untuk menghilangkan rasa bosan tidak adanya acara, aku sering eksplore masjid sendirian di Jogja untuk aku kunjungi bertarawih. Aku penasaran dengan perbedaan tarawih yang terjadi di sana. Sejauh itu aku senang karena aku merasa itu hal yang baru. Sekali aku eksplore dengan kawan-kawan. Di Masjid Syuhada, Masjid Dr. Wahidin Soedirohoesodo, dan Masjid Saliman Suciati. Ternyata aku nikmat dengan mendengarkan kajian-kajian dengan tema yang bahkan aku tidak pernah tahu kalau itu ada.
Di malam ramadhan ke-27, aku bersama kawan-kawan i'tikaf di Masjid Kampus UGM selama semalam. Sekali lagi itu adalah hal yang baru. Karena aku ingin mengejar ketertinggalan tilawahku, minumlah aku kopi logo hijau yang bersanding dengan ind*mart. Memang dasarnya aku lemah dengan kafeinnya kopi, semalaman aku tidak bisa tidur. Bahkan di perjalanan pulang 50 km saja aku tidak tidur/istirahat sama sekali. Tapi tak apa, karena itu aku bisa menyelesaikan 4 juz dalam semalam. Dan itu adalah hal yang baru lagi.
Di detik-detik akhir ramadhan, aku berhalangan. Dua hari aku tidak puasa, juga tidak sholat ied.
- Lebaran
Aku mengunci diri di kamar setelah mandi, pakai baju (tak ada baju baru), dan sungkem bermaaf-maafan dengan kedua orang tuaku. Aku lupa doa-doa mereka lebaran sebelumnya, tapi kali ini :
Pae : "Semoga kamu segera mendapatkan suami yang bertanggung jawab"
Mae : "Iya, maafin juga Mae yang sering marah-marah ini. Semoga segera diberikan hal-hal yang seperti temen-temen kamu dapet yaa (menikah ini maksudnya mah)"
Aku aamiin-i semuanya yang pokoknya intinya doa mereka baik.
Aku tidak berkeliling kemana-mana karena tidak ada teman. Aku tidak dekat dengan saudara-saudara sepupuku, aku tidak dekat dengan teman-teman sebayaku di sini.
Seharusnya aku bersama mas-masku dan keluarganya. Namun kali ini masku pertama belum bisa pulang (hanya anaknya yang pulang), dan masku yang kedua jatahnya hari pertama untuk keluarganya di rantauan sana. Jadi aku sendirian di rumah.
Jadi anak terakhir itu enak, betul. Paling dimanja, dilayani, disayang, dibebaskan (harusnya protektif ya? :D). Tapi tidak enaknya itu ya seperti ini. Kalau kakak-kakaknya sudah menikah dan tinggal jauh dari rumah, walhasil kebingungan lebaran dengan siapa?
Umurku 24 tahun, tahun ini 25 tahun. Dulu kalau ditanya target menikah umur berapa, aku jawabnya umur 24 tahun. Yang mana harusnya sekarang-sekarang, nggak sih? :D Tapi qodarullah belum.
Sedih? Sangat sedihhh. Aku tidak tahu apakah memang ada beberapa titik penyesuaian namun kali ini aku berada pada titik malu bertemu dengan orang-orang sebayaku yang sudah menikah. Aku takut dengan pertanyaan, "kamu kapan?". Aku tidak pernah mau menghadiri pernikahan saudara-saudaraku. Malu. Di keluarga bapakku, aku satu-satunya perempuan yang belum menikah. Di keluarga ibuku, ada 4 perempuan yang belum menikah (satu sudah ada tanggal menikahnya setahun lebih tua dariku, aku yang tidak jelas, satu baru lulus SMK, satunya lagi masih TK). Ibuku sudah memiliki 2 anak saat seumuranku. Sedangkan aku, kemana-mana sendiri :D
Aku sedih kalau orang tuaku menyapa orang-orang yang sudah menikah dengan bangga, dan orang-orang yang akan menikah. "Waaah, Pengantin Baru." "Waaah, Calon Pengantin." Sakit hati rasanya, tapi ya memang itu kenyataannya.
Hmm oke cukup, topik itu menjadi episode baru yang mungkin nanti-nanti akan aku keluhkan. Kembali ke lebaran.
Momen lebaran adalah momen orang-orang berkumpul dengan keluarga. Salah satu cara merayakannya adalah dengan foto keluarga. Ada yang lengkap, ada yang tidak lengkap karena masih ada beberapa kerabat yang merantau. Beda dengan keluarga kami. Terakhir foto keluarga itu tahun 2021, itupun aku yang foto. Maksudnya tidak ada aku di foto itu.
Masalah foto keluarga sejujurnya aku trauma dengan itu, lebaran tahun 2022. Setelah itu aku tidak mau lagi. Tidak lagi-lagi aku minta foto keluarga. Aku takut menghancurkan segalanya lagi. Aku sangat trauma sampai aku tidak ingin menceritakan detailnya. Intinya aku pernah ingin sekali foto keluarga yang lengkap, ada aku juga tapi segalanya hancur gara-gara aku. Jadi, ya sudah. Satu saja lah foto keluarga lengkap yang ada akunya. Saat itu aku masih kelas 1 atau 2 SD, belasan tahun yang lalu. Sepertinya kehadiranku tidak terlalu penting juga. Beban?
Tidak ada yang menanyakanku. Aku tidak tahu apakah aku harus lega atau tidak.
Yang jelas, aku kesepian dan tidak tenang. Itu sih intisarinya.
Komentar
Posting Komentar