Langsung ke konten utama

Naskah drama cupu manik astagina

CUPU MANIK ASTAGINA
Adegan I (Gunung Sukendra)
Alkisah sebuah pertapaan di Gunung Sukendra yang dihuni oleh Resi Gotama dan keluarganya. Dia merupakan keturunan Bathara Ismaya. Karena jasa dan baktinya pada para dewa. Resi Gotama dianugrahi seorang bidadari kahyangan, Dewi Windradi. Dalam perkawinan ini, mereka dikaruniai dua putra, Guwarsa dan Guwarsi, dan seorang putri, Dewi Anjani.
Bhatarya Surya, kekasih gelap Dewi Windradi, memberikan sebuah pusaka bernama Cupu Manik Astagina kepada Dewi Windradi dengan syarat tidak boleh menunjukan apalagi menyerahkan benda kadewatan itu kepada orang lain walaupun ke anaknya sendiri. Apabila pesan itu sampai terlanggar, kejadian yang tak diharapkan akan terjadi tanpa bisa dibendung lagi.
Suatu hari, Dewi Windradi sedang memainkan Cupu Manik Astagina. Cupumanik Astagina adalah pusaka kadewatan yang menurut ketentuan dewata tidak boleh dilihat atau dimiliki oleh manusia lumrah. Dengan membuka Cupumanik Astagina, melalui mangkoknya dapat dilihat dengan nyata dan jelas gambaran swargaloka yang serba polos, suci dan penuh kenikmatan. Sedangkan dari tutupnya akan dapat dilihat dengan jelas seluruh kehidupan semua makluk di jagad raya. Cupumanik Astagina juga dapat memenuhi semua keinginan pemiliknya.
Dewi Windradi              : “Pusaka yang menakjubkan. Aku tidak akan bisa melihat keelokan dan keindahan swargaloka tanpa Bhatara Surya yang memberikan pusaka ini. Alangkah baiknya dia. Beruntungnya diriku.”
Tanpa sepengetahuan Dewi Windradi, Dewi Anjani melihat Ibundanya yang sedang memainkan pusaka itu.
Dewi Anjani                  : “Ibunda, benda apakah itu? Indah sekali. Bolehkah aku memilikinya?”
Dewi Windradi              : (Kaget, gugup, langsung menyembunyikan di belakang tubuh) “Eeh.. ini bukan apa-apa.”
Dewi Anjani                  : “Ayolah, Ibunda beritahu aku. Benda  apa itu?”
Dewi Windradi              : “Sungguh, anakku yang paling cantik. Benda ini bukanlah apa-apa. Kau tidak perlu tahu.”
Dewi Anjani                  : “Ah, Ibunda. Aku menjadi sangat ingin mengetahui tentang benda itu. Kau tidak perlu juga menyembunyikannya. Bukankah aku sudah melihatnya, Ibunda?”
Dewi Windradi              : (menghela nafas, membelai rambut Dewi Anjani) “Hfft... yah sudahlah. Apa salahnya aku membagi kemahsyuran pusaka ini?”
Dewi Anjani                  : (membelalakkan mata) “Apa? Benda itu sebuah pusaka, Ibunda?”
Dewi Windradi              : (tersenyum) “Iya, anakku. Benda ini adalah pusaka. Pusaka yang mempunyai pesona yang sangat luar biasa. Kau bisa melihat sucinya swargaloka dan kebesaran jagad raya di dunia ini.”
Dewi Anjani                  : (takjub) “Wah, hebat sekali, Ibunda. Apa nama pusaka mahsyur itu, Ibunda?”
Dewi Windradi              : “Pusaka ini bernama Cupu Manik Astagina. Kau bisa memilikinya tetapi kau tidak boleh menunjukannya kepada siapapun walau saudara-saudaramu bahkan Ayahanda.”
Dewi Anjani                  : “Benarkah? Aku bisa memiliki pusaka Cupu manik ini?”
Dewi Windradi              : “Iya. Tetapi kau harus mematuhi syaratnya.” (memberikan pusaka)
Dewi Anjani                  : (menerima pusaka) “Oh, terima kasih, Ibunda.”
Dewi Windradi              : (mengelus rambut anjani) “Sama-sama, Anjani.”
Adegan II (Kamar Dewi Anjani)
Dengan perasaan senang akan perlakuan Ibundanya kepada Dewi Anjani, dia segera pergi ke kamarnya untuk menyembunyikan pusaka Cupu Manik Astagina itu ke tempat yang paling aman supaya tidak bisa dilihat oleh siapapun sampai waktu yang tepat tiba untuk dia membuktikan kehebatan pusaka itu.
Suatu saat waktu yang tepat tiba, dia segera membuka pusaka itu perlahan dan benar saja, dia takjub dengan apa yang ia lihat. Swargaloka yang polos... jagad raya yang besar...
Dewi Anjani                  : “Waaaah... semua yang Ibunda katakan tentang pusaka ini memang benar.”
Sayang seribu sayang, Guwarsa dan Guwarsi yang tidak sengaja melihat apa yang dilakukan kakaknya itu melihat pusaka Cupu Manik. Terjadilah pertengkaran diantara mereka.
Guwarsa                        : “Kakak, benda apa itu? Mengapa kau memilikinya sedangkan kami tidak?”
Dewi Anjani                  : “Apa itu salah? Kalian masih kecil! Kalian dipastikan tidak akan bisa menjaga dan merawat benda ini.”
Guwarsi                         : “Tapi, Kak, justru karena kami yang lebih kecil darimu harus mendapatkan apa yang kami inginkan. Kau harus mengalah!”
Dewi Anjani                  : “Hah?! Apa? Aku mengalah untuk kalian?! Untuk apa? Mentang-mentang kalian kecil dan sedikit-sedikit merengek dengan mudahnya untuk mendapatkan apa yang kalian inginkan ha? Kalian pikir benda ini mainan sehingga dengan mudahnya kalian ingin memilikinya? TIDAK! Tidak semudah itu!”
Guwarsa                        : “Tidak adil! Kau harus mengalah demi kami, Kak! Kami juga menginginkan benda itu. Atau setidaknya kau harus menunjukkan benda itu kepada kami!”
Dewi Anjani                  : “Tidak akan pernah dan jangan berharap!”
Guwarsa                        : (langsung merebut Cupu Manik Astagina) “Cepat tunjukan itu kepada kami, Kak!”
Guwarsi                         : (membantu Guwarsa) “Kau curang! Dan mentang-mentang kau ini anak perempuan sendiri dan terus disayang oleh Ayahanda dan Ibunda. sedangkan kami tidak pernah!”
Dewi Anjani                  : (mempertahankan Cupu Manik Astagina) “Lepaskan, Guwarsa Guwarsi! Kalian harus dewasa!Mereka sudah bersikap adil kepada kalian! Kalian saja yang asalnya memang bebal dan nakal!”
Guwarsa                        : “Itu bukan alasan kami untuk berhenti merebut benda ini darimu, Anjani!”
Dewi Anjani                  : (menampar Guwara dan Guwarsi) “GUWARSA! GUWARSI! Bersikap sopanlah kepada kakakmu!”
Adegan III (Singggasana Resi Gotama)
Setelah ditampar oleh Dewi Anjani, Guwarsa dan Guwarsi pun berlari menghampiri singgasana Ayahanda mereka untuk mengadukan sikap Dewi Anjani yang dinilai tidak mengalah kepada adik-adiknya dan ketidak adilan pelakuan diantara Guwarsa dan Guwarsi dengan Dewi Anjani. Sementara Dewi Anjani melaporkan kenakalan Guwarsa dan Guwarsi kepada Ibundanya.
Guwarsa                        : (mengelus pipi bekas tamparan Dewi Anjani) “Ayahanda! Mengapa kau hanya memberikan benda itu kepada Anjani! Sedangkan kami tidak diberikan olehmu!
Resi Gotama                  : (dengan kalem dan tersenyum) “Tenanglah, Anak-anakku. Ke sinilah, kalian berdua masing-masing duduk di sebelah Ayahanda dan ceritakan lah apa yang membuat emosi kalian menggebu-gebu seperti ini.”
Guwarsi                         : “Kak Anjani, Ayahanda... dia egois, pelit, dan menang sendiri, dia telah menampar kami yang tidak tahu apa-apa.”
Resi Gotama                  : (menyeringai) “Hmm? Mungkin memang kalian saja yang sudah bersikap nakal kepadanya? Bukankah dia selalu baik kepada kalian?”
Guwarsa                        : “Baik apanya, Ayahanda? Dia menampar kami hanya karena mempertahankan sebuah benda yang kami tidak miliki! Untuk melihatnya pun kami tidak boleh!”
Guwarsi                         : “Benar, Ayahanda. Ini sangat tidak adil! Mengapa kami tidak mendapatkan apa-apa sedangkan Anjani mendapatkan benda itu?”
Resi Gotama                  : (bingung) “Emmm... cobalah kalian ceritakan seperti apa wujud benda itu sehingga kalian seperti sangat ingin benda itu kalian miliki?”
Guwarsa                        : “Kami hanya melihat sekilas wajah Anjani saat ia memainkan benda itu. Dia seperti takjub dan tentu saja kami sangat ingin tahu benda apakah itu sehingga ia berekspresi setakjub itu.”
Guwarsi                         : “Ayahanda, sesayang itukah engkau terhadap Anjani daripada kami?”
Resi Gotama                  : “Apa maksud kau, Guwarsi? Tentu saja tidak! Ayahanda membagi rata rasa sayang Ayahanda kepada kalian. Lagipula, Ayahanda tidak merasa memberikan apapun kepada Anjani baru-baru ini.”
Guwarsa                        : “Pokoknya ini tidak adil, Ayahanda! Siapapun yang memberikan sesuatu kepada salah satu dari kami ya seharusnya kami semua dapat! Tidak boleh meng-anak-emaskan salah satu dari kami!”
Resi Gotama                  : “Tidak..tidak, Anakku. Ayahanda dan Ibunda kalian sama sayangnya kepada kalian. Coba, kalian panggil Anjani, mari kita pecahkan masalah ini bersama.”
Guwarsi                         : (dengan keberatan) “Baik, Ayahanda.”
Adegan IV (Taman)
Guwarsi pun pergi ke mencari Dewi Anjani sesuai perintah Ayahandanya. Dia mencari Dewi Anjani kesana kemari hingga ia menemukan Dewi Anjani tengah bersama Ibundanya yang sedari tadi mengadukan sikap adik-adiknya kepada Dewi Anjani.
Guwarsi                         : “Anjani, kau diperintah Ayahanda untuk menemui beliau. Hah. Semoga kau menjadi tidak pelit lagi kepada kami, Anjani.”
Dewi Anjani                  : (mengancam Guwarsi dengan mengangkat tangannya seperti akan menampar lagi, Guwarsa mengelak) “Kau! Jaga mulut kau, anak nakal!”
Guwarsi                         : “Kau tidak akan dimaafkan kali ini, Anjani. Lihat saja! Dengan senang hati, kami akan melihatmu bersujud meminta maaf kepada kami dengan segera, Anjani.”
Dewi Windradi              : “Sudah cukup, Guwarsi! Kau tidak perlu melebih-lebihkan seperti itu!”
Guwarsi                         : “Ibunda sama saja. Kau hanya bisa membela Anjani!”
Dewi Windradi              : “CUKUP, GUWARSI! Ibunda akan ikut serta mengantar kalian menghadap Ayahanda supaya kalian tidak bertengkar terus!”
Guwarsi                         : “Bilang saja Ibunda akan membela Anjani.”
Adegan V (Singggasana Resi Gotama)
Setelah Dewi Anjani, Dewi Windradi, dan Guwarsi menghadap Resi Gotama, Resi Gotama langsung membanjiri pertanyaan kepada Dewi Anjani.
Resi Gotama                  : “Dewi Anjani, anakku, benda apakah yang dimaksudkan adik-adik kau ini sehingga membuat kalian bertengkar memperebutkan benda itu?”
Dewi Anjani                  : “Wahai Ayahanda, sungguh. Benda itu bukanlah apa-apa. Guwarsa dan Guwarsi saja yang selalu melebih-lebihkan semuanya.”
Resi Gotama                  : “Bisa Ayahanda melihat benda itu?”
Dewi Anjani                  : “Sudah Ayah, percaya pada Anjani. Benda itu tidak penting. Mari lupakan saja masalah benda ini, Ayahanda.”
Resi Gotama                  : “TUNJUKKAN BENDA ITU KEPADAKU, ANJANI!”
Dewi Anjani                  : (langsung menunduk ketakutan, perlahan memberikan Cupu Manik Astagina) “Ini, Ayah.”
Resi Gotama                  : (mengutak-atik Cupu Manik. Membukanya dan melihat kekuatannya) “Wah, swargaloka. Apa nama benda ini, Anjani?”
Dewi Anjani                  : “Cu..cu..cupu Manik Astagina.”
Resi Gotama                  : “Dari mana kau mendapatkannya Anjani? Mengapa adik-adikmu tidak boleh melihat benda ini? Seberharga itukah Cupu Manik Astagina ini dibanding rasa kasih sayangmu terhadap adik-adikmu?”
Dewi Anjani                  “Tidak, Ayah. Benda itu memang tidak boleh ditunjukkan kepada siapapun termasuk keluarga sendiri.”
Resi Gotama                  : “Siapakah yang mengatakannya, Anjani?”
(Dewi Anjani diam tidak berani menjawab)
Resi Gotama                  : “Siapa orang itu, Anjani?!”
(tetap diam)
Resi Gotama                  : “JAWAB, ANJANI!”
Dewi Anjani                  : (kaget) “Eh..eh..i..i..ibunda. Ibunda lah yang memberikan pusaka itu kepadaku, Ayahanda.”
Resi Gotama                  : (menatap Dewi Widradi tetapi masih berbicara dengan Dewi Anjani) “Kau tahu alasan mengapa benda ini tidak boleh ditunjukkan kepada siapapun, Anjani?”
Dewi Anjani                  : (masih menunduk) “Tidak, Ayah. Anjani sungguh tidak tahu. Anjani hanya diamanatkan untuk tidak menunjukkan benda itu kepada siapapun.”
Resi Gotama                  : (masih menatap Dewi Windradi yang menunduk, berbicara dengan Dewi Windradi) “Apakah kau mengerti sekarang akibat kasih sayangmu terhadap anak-anakmu tidak seimbang? Berat di Anjani, ringan di Guwarsa dan Guwarsi? Apa kau mengerti sekarang ha?”
(Dewi Windradi diam)
Resi Gotama                  : “Sampai kapan? Sampai kapan kau tidak pernah adil kepada anak-anak kita?! Lihatlah mereka sekarang! Bagaikan api dan air, bermusuhan, dan tidak layak disebut keluarga!”
(Dewi Windradi diam)
Resi Gotama                  : “Beritahu aku, Windradi, dari mana kau mendapatkan pusaka Cupu Manik ini! Beritahu aku sekarang!”
(Dewi Windradi diam)
Resi Gotama                  : “Kau tega melihat anak-anakmu terus bertengkar karena memperebutkan pusaka yang kau berikan kepada Anjani? Siapapun orang itu, aku tidak akan pernah memaafkannya! Siapa yang memberikan pusaka ini, Windradi?!”
(Dewi Windradi diam)
Resi Gotama                  : “Oh, hanya sebatas inikah rasa saling percaya kita?! Jawab sekarang atau kau akan menerima akibatnya! Sekali lagi, Windradi, siapa yang memberimu pusaka Cupu Manik ini?!”
(Dewi Windradi tetap diam)
Resi Gotama                  : “Sungguh, aku sangat kecewa padamu. Kau telah menguji kesabaranku. Kini, aku tidak akan lagi menahan kesabaranku. Kau sangat tidak pecus menjadi seorang Ibu!”
Karena kekesalan Resi Gotama terhadap Dewi Windradi yang terus diam saat ditanyai darimana pusaka Cupu Manik Astagina itu berasal, akhirnya Dewi Windradi pun dikutuk menjadi sebuah tugu oleh Resi Gotama. Sementara pusaka Cupu Manik Astagina itu sendiri ia belah dan ia lemparkan ke  Ayodya menjadi Telaga Nirmala dan tutupnya dilemparkan ke hutan menjadi Telaga Sumala yang langsung dikejar oleh ketiga anak-anaknya.
Adegan VI (Telaga Nirmala)
Guwarsa dan Guwarsi mengejar pusaka itu hingga menemukan Telaga Nirmala. Mereka berpikir telaga itu adalah telaga biasa. Mereka menceburkan diri ke dalam Telaga Nirmala untuk mencari pusaka itu sambil bertengkar. Setelah menceburkan diri, mereka masing-masing melihat seekor kera yang dirasa menghalangi pencarian mereka. Lalu menyerang kera itu. Tapi, tanpa mereka sadari, ternyata merekalah yang menjadi kera. Guwarsa dan Guwarsi menjadi kera karena menceburkan diri ke dalam Telaga Nirmala.
Guwarsa                        : “Guwarsi, kau telah....? Kita menjadi kera, Guwarsi! Bagaimana ini?!”
Guwarsi                         : “Tidak tidak tidak! Tidak mungkin!! Bulu-bulu ini pasti hilang kalau kita bersihkan dengan air telaga ini!” (menggosok tangannya membersihkan bulu di tangan)
Guwarsa                        : “Cukup, Guwarsi! Percuma! Atau mungkin, justru karena telaga inilah kita sudah menjadi kera!”
Guwarsi                         : “Apa?! Bagaimana mungkin? Ini kan hanya air?! Bagaimana bisa merubah manusia menjadi kera?!”
Guwarsa                        : “Apa kau sadar?! Kita berada di Hutan Ayodya! Bukankah ini tempat bermain kita? Dan aku belum pernah melihat telaga ini! Ini aneh. Padahal setahuku, Ayahanda membuang pusaka Cupu Manik itu ke sini! Apa mungkin....?”
Guwarsi                         : “Kekuatan pusaka Cupu Maniklah yang membuat telaga ini?”
Guwarsa                        : “Mungkin saja. Bagaimana ini? Bukankah Kak Anjani ikut mengejar pusaka ini?”
Guwarsi                         : “Oh iya. Kau benar. Apa dia juga menjadi kera?”
Adegan VII (Hutan Ayodya)
Guwarsa dan Guwarsi pun mencari Dewi Anjani ke segala penjuru Hutan Ayodya. Sementara itu, Dewi Anjani yang kalah jauh dalam pengejaran Cupu Manik dengan adik-adiknya ini sangat kelelahan dan beristirahat di tepi sebuah telaga. Ia mencuci kaki, tangan, dan wajahnya.
Dewi Anjani                  : “Dasar adik-adik tidak berguna! Kalau saja mereka tidak terlalu kekanakan ingin memiliki pusaka itu, Ibunda tidak akan dikutuk menjadi tugu oleh Ayahanda dan aku tidak akan kelelahan seperti ini!”
Tak lama kemudian, Dewi Anjani kembali mencuci wajahnya. Dan alangkah terkejutnya dia hanya mendapati bayangan seorang kera di depan dia. Langsung saja dia marah-marah tidak jelas karena wajahnya berubah menjadi seekor kera.
Dewi Anjani                     : “ASTAGA! Apa ini!! Ada apa dengan wajahku?! Ke...ra... aku menjadi ke...ra...? Cobaan apalagi ini, Ayah?”
Dewi Anjani melihat ada dua ekor kera lagi menghampirinya. Dan sekejap dia tahu bahwa mereka adalah Guwarsa dan Guwarsi.
Dewi Anjani                  : “Gu..warsa? Guwarsi? Kaliankah itu? Aku Anjani!”
Guwarsa                        : “Iya, Kak. Kami Guwarsa dan Guwarsi. Kami dan....kau menjadi...kera.”
Dewi Anjani                  : “Kalian...kalian tahu penyebabnya?”
Guwarsi                         : (bertatapan singkat dengan Guwarsa, mengangguk) “Iya, Kak.”
Adegan VIII (Singgasana Resi Gotama)
Lalu Guwarsa dan Guwarsi memberitahu kira-kira penyebab mereka menjadi kera. Setelah itu mereka memutuskan untuk pulang meminta maaf dengan Ayahanda mereka dan memohon pada Ayahanda mereka untuk dijadikan ke wujud semula.
Dewi Anjani                  : “Ayahanda, apa yang terjadi pada kami? Mengapa kami menjadi kera? Padahal kami hanya terkena air telaga.”
Guwarsi                         : “Betul, Ayahanda. Apakah air telaga yang kami masuki terdapat kutukan? Tapi mengapa kami yang terkena kutukannya?”
Resi Gotama                  : “Itulah kalian. Kalian tidak tahu apa-apa. Kalian tidak tahu bagaimana telaga itu terbentuk dan apa yang ada di dalam telaga itu. Kalian hanya sibuk mengejar keinginan fana kalian. Itulah akibatnya.”
Guwarsa                        : “Memang, bagaimana telaga itu terbentuk? Apakah ada hubungannya dengan apa pusaka Cupu Manik?”
Resi Gotama                  : “Justru telaga itu terbentuk karena karma dari pusaka itu. Pikirlah kalian hanya memikirkan nafsu belaka tanpa memikir apa akibatnya.
Dewi Anjani                  : “Lalu, apa yang harus kami lakukan supaya wujud kami kembali seperti semula, Ayahanda?”
Resi Gotama                  : “Hmm... Ini adalah kutukan dosa. Kalian harus bertapa.”
Guwarsi                         : “Bertapa?”
Resi Gotama                  : “Iya, kalian harus bertapa. Masing-masing akan mendapat syarat tersendiri untuk bertapa.”
Guwarsi                         : “Apa saja itu,  Ayahanda? Kami akan lakukan dengan baik asal kami dapat kembali seperti semula dan bersih dari dosa kutukan ini.”
Resi Gotama                  : “Guwarsa?”
Guwarsa                        : “Ya, Ayahanda?”
Resi Gotama                  : “Kau harus bertapa seperti kelelawar dengan menggantungkan kakimu di pohon dengan kepala di bawah, dan ganti namamu dengan Subali. Guwarsi?”
Guwarsi                         : “Guwarsi harus bertapa seperti apa, Ayahanda?”
Resi Gotama                  : “Ku harus bertapa seperti kijang. Kau harus merangkak untuk berjalan, makan dedaunan, dan ganti namamu dengan Sugriwa. Dan Anjani...”
Dewi Anjani                  : “Anjani siap dengan apa yang harus Anjani lakukan asal dosa Anjani dapat diampuni, Ayahanda.”
Resi Gotama                  : “Anjani, kau harus bertapa dengan tubuh telanjang dengan merendamkan tubuhmu sampai leher di Telaga Madirda yang airnya mengalir ke sungai Yamuna.”
Dewi Anjani                  : “Baik, Ayahanda. Anjani akan lakukan.”
Resi Gotama                  : “Anak-anakku, kalian akan kuampuni asal syarat-syarat yang sudah ku beritahu ke kalian sudah dilakukan dengan baik. Sekarang, pergilah demi mensucikan dosa kalian!”

Mereka bertiga pun pergi dengan tujuan masing-masing syarat tapa mereka. Guwarsa yang harus bertapa seperti kelelawar dan berganti nama dengan Subali, Guwarsi yang harus bertapa seperti kijang dan berganti nama dengan Sugriwa, serta Dewi Anjani yang harus bertapa berendam telanjang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Teks Cerita Islami MAPSI 2021

Salah satu cabang dalam perlombaan MAPSI SD/MI yaitu Menulis Cerita Islami. Di tahun 2021, Lomba MAPSI di cabang ini diperoleh subtema sebagai berikut : 1. Pemaaf dan bertaubat (meneladani Nabi Adam as) 2. Semangat belajar di masa pandemi (meneladani Nabi Idris as) 3. Kerja keras dan kerjasama (meneladani Nabi Nuh as) 4. Jujur dan kasih sayang (meneladani Nabi Hud as) 5. Pentingnya kebersihan di masa pandemi (meneladani Nabi Muhammad saw) dengan ketentuan tokoh keteladanan dapat ditambah dengan Nabi dan Rasul yang lain, sahabat Nabi Muhammad saw, tokoh muslim internasional, guru, tokoh masyarakat, orang tua, dsb. Berikut saya lampirkan contoh teks cerita islami yang merupakan Juara I tingkat Kota Magelang Jawa Tengah tahun 2021 . Bisa dijadikan inspirasi anda sekalian dalam melatih atau menulis cerita islami di tahun depan. Cerita I Meneladani sifat pemaaf dan bertaubatnya Nabi Adam as. Belajar dari Taubatnya Nabi Adam Kupandangi cahaya yang menembus masuk di kaca jendela kamar kecilku

Pengertian, kaidah, struktur, dan contoh teks eksplanasi

Pengertian Teks Eksplanasi Teks Eksplanasi adalah teks yang berisi penjelasan-penjelasan tentang proses mengapa dan bagaimana dari suatu topik yang berhubungan dengan fenomena-fenomena alam maupun sosial yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Ciri-ciri Teks Eksplanasi Informasi-informasi yang termuat di dalamnya berdasarkan fakta (faktual). Hal yang dibahas yaitu suatu fenomena yang bersifat keilmuan atau berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Sifatnya informatif dan tidak berusaha untuk mempengaruhi pembaca untuk percaya terhadap hal yang dibahas. Terdiri dari pernyataan umum, urutan sebab-akibat, dan interpretasi. Struktur Teks Eksplanasi Pernyataan umum (general statement) ( Bagian pertama dari teks eksplanasi yang isinya mengenai penyampaian topik atau permasalahan yang akan dibahas (gambaran mengenai apa dan mengapa fenomena tersebut bisa terjadi) Deretan penjelas/ urutan sebab akibat ( Bagian urutan sebab akibat dari suatu fenomena (penjelasan lebih detail fenomena ya