Adegan I (Gunung Sukendra)
Alkisah
sebuah pertapaan di Gunung Sukendra yang dihuni oleh Resi Gotama dan
keluarganya. Dia merupakan keturunan Bathara Ismaya. Karena jasa dan baktinya
pada para dewa. Resi Gotama dianugrahi seorang bidadari kahyangan, Dewi
Windradi. Dalam perkawinan ini, mereka dikaruniai dua putra, Guwarsa dan
Guwarsi, dan seorang putri, Dewi Anjani.
Bhatarya
Surya, kekasih gelap Dewi Windradi, memberikan sebuah pusaka bernama Cupu Manik
Astagina kepada Dewi Windradi dengan syarat tidak boleh menunjukan apalagi
menyerahkan benda kadewatan itu kepada orang lain walaupun ke anaknya sendiri.
Apabila pesan itu sampai terlanggar, kejadian yang tak diharapkan akan terjadi
tanpa bisa dibendung lagi.
Suatu
hari, Dewi Windradi sedang memainkan Cupu Manik Astagina. Cupumanik Astagina
adalah pusaka kadewatan yang menurut ketentuan dewata tidak boleh dilihat atau
dimiliki oleh manusia lumrah. Dengan membuka Cupumanik Astagina, melalui
mangkoknya dapat dilihat dengan nyata dan jelas gambaran swargaloka yang serba
polos, suci dan penuh kenikmatan. Sedangkan dari tutupnya akan dapat dilihat
dengan jelas seluruh kehidupan semua makluk di jagad raya. Cupumanik Astagina
juga dapat memenuhi semua keinginan pemiliknya.
Dewi Windradi : “Pusaka yang menakjubkan. Aku
tidak akan bisa melihat keelokan dan keindahan swargaloka tanpa Bhatara Surya
yang memberikan pusaka ini. Alangkah baiknya dia. Beruntungnya diriku.”
Tanpa
sepengetahuan Dewi Windradi, Dewi Anjani melihat Ibundanya yang sedang
memainkan pusaka itu.
Dewi Anjani : “Ibunda, benda apakah itu? Indah sekali. Bolehkah
aku memilikinya?”
Dewi Windradi : (Kaget, gugup, langsung
menyembunyikan di belakang tubuh) “Eeh.. ini bukan apa-apa.”
Dewi Anjani : “Ayolah, Ibunda beritahu aku. Benda apa itu?”
Dewi Windradi : “Sungguh, anakku yang paling
cantik. Benda ini bukanlah apa-apa. Kau tidak perlu tahu.”
Dewi Anjani : “Ah, Ibunda. Aku menjadi sangat ingin mengetahui
tentang benda itu. Kau tidak perlu juga menyembunyikannya. Bukankah aku sudah
melihatnya, Ibunda?”
Dewi Windradi : (menghela nafas, membelai rambut
Dewi Anjani) “Hfft... yah sudahlah. Apa salahnya aku membagi kemahsyuran pusaka
ini?”
Dewi Anjani : (membelalakkan mata) “Apa? Benda itu sebuah
pusaka, Ibunda?”
Dewi Windradi : (tersenyum) “Iya, anakku. Benda
ini adalah pusaka. Pusaka yang mempunyai pesona yang sangat luar biasa. Kau
bisa melihat sucinya swargaloka dan kebesaran jagad raya di dunia ini.”
Dewi Anjani : (takjub) “Wah, hebat sekali, Ibunda. Apa nama
pusaka mahsyur itu, Ibunda?”
Dewi Windradi : “Pusaka ini bernama Cupu Manik Astagina.
Kau bisa memilikinya tetapi kau tidak boleh menunjukannya kepada siapapun walau
saudara-saudaramu bahkan Ayahanda.”
Dewi Anjani : “Benarkah? Aku bisa memiliki pusaka Cupu manik
ini?”
Dewi Windradi : “Iya. Tetapi kau harus mematuhi
syaratnya.” (memberikan pusaka)
Dewi Anjani : (menerima pusaka) “Oh, terima kasih, Ibunda.”
Dewi Windradi : (mengelus rambut anjani)
“Sama-sama, Anjani.”
Adegan
II (Kamar Dewi Anjani)
Dengan
perasaan senang akan perlakuan Ibundanya kepada Dewi Anjani, dia segera pergi
ke kamarnya untuk menyembunyikan pusaka Cupu Manik Astagina itu ke tempat yang
paling aman supaya tidak bisa dilihat oleh siapapun sampai waktu yang tepat
tiba untuk dia membuktikan kehebatan pusaka itu.
Suatu saat
waktu yang tepat tiba, dia segera membuka pusaka itu perlahan dan benar saja,
dia takjub dengan apa yang ia lihat. Swargaloka yang polos... jagad raya yang
besar...
Dewi Anjani : “Waaaah... semua yang Ibunda katakan tentang
pusaka ini memang benar.”
Sayang
seribu sayang, Guwarsa dan Guwarsi yang tidak sengaja melihat apa yang
dilakukan kakaknya itu melihat pusaka Cupu Manik. Terjadilah pertengkaran
diantara mereka.
Guwarsa : “Kakak, benda apa itu? Mengapa kau
memilikinya sedangkan kami tidak?”
Dewi Anjani : “Apa itu salah? Kalian masih kecil! Kalian
dipastikan tidak akan bisa menjaga dan merawat benda ini.”
Guwarsi : “Tapi, Kak, justru karena kami yang lebih
kecil darimu harus mendapatkan apa yang kami inginkan. Kau harus mengalah!”
Dewi Anjani : “Hah?! Apa? Aku mengalah untuk kalian?! Untuk
apa? Mentang-mentang kalian kecil dan sedikit-sedikit merengek dengan mudahnya
untuk mendapatkan apa yang kalian inginkan ha? Kalian pikir benda ini mainan
sehingga dengan mudahnya kalian ingin memilikinya? TIDAK! Tidak semudah itu!”
Guwarsa : “Tidak adil! Kau harus mengalah demi kami,
Kak! Kami juga menginginkan benda itu. Atau setidaknya kau harus menunjukkan
benda itu kepada kami!”
Dewi Anjani : “Tidak akan pernah dan jangan berharap!”
Guwarsa : (langsung merebut Cupu Manik Astagina)
“Cepat tunjukan itu kepada kami, Kak!”
Guwarsi : (membantu Guwarsa) “Kau curang! Dan
mentang-mentang kau ini anak perempuan sendiri dan terus disayang oleh Ayahanda
dan Ibunda. sedangkan kami tidak pernah!”
Dewi Anjani : (mempertahankan Cupu Manik Astagina) “Lepaskan,
Guwarsa Guwarsi! Kalian harus dewasa!Mereka sudah bersikap adil kepada kalian!
Kalian saja yang asalnya memang bebal dan nakal!”
Guwarsa : “Itu bukan alasan kami untuk berhenti
merebut benda ini darimu, Anjani!”
Dewi Anjani : (menampar Guwara dan Guwarsi) “GUWARSA! GUWARSI!
Bersikap sopanlah kepada kakakmu!”
Adegan
III (Singggasana Resi Gotama)
Setelah
ditampar oleh Dewi Anjani, Guwarsa dan Guwarsi pun berlari menghampiri
singgasana Ayahanda mereka untuk mengadukan sikap Dewi Anjani yang dinilai
tidak mengalah kepada adik-adiknya dan ketidak adilan pelakuan diantara Guwarsa
dan Guwarsi dengan Dewi Anjani. Sementara Dewi Anjani melaporkan kenakalan
Guwarsa dan Guwarsi kepada Ibundanya.
Guwarsa : (mengelus pipi bekas tamparan Dewi Anjani)
“Ayahanda! Mengapa kau hanya memberikan benda itu kepada Anjani! Sedangkan kami
tidak diberikan olehmu!
Resi Gotama : (dengan kalem dan tersenyum) “Tenanglah,
Anak-anakku. Ke sinilah, kalian berdua masing-masing duduk di sebelah Ayahanda
dan ceritakan lah apa yang membuat emosi kalian menggebu-gebu seperti ini.”
Guwarsi : “Kak Anjani, Ayahanda... dia egois, pelit,
dan menang sendiri, dia telah menampar kami yang tidak tahu apa-apa.”
Resi Gotama : (menyeringai) “Hmm? Mungkin memang kalian saja
yang sudah bersikap nakal kepadanya? Bukankah dia selalu baik kepada kalian?”
Guwarsa : “Baik apanya, Ayahanda? Dia menampar kami
hanya karena mempertahankan sebuah benda yang kami tidak miliki! Untuk
melihatnya pun kami tidak boleh!”
Guwarsi : “Benar, Ayahanda. Ini sangat tidak adil!
Mengapa kami tidak mendapatkan apa-apa sedangkan Anjani mendapatkan benda itu?”
Resi Gotama : (bingung) “Emmm... cobalah kalian ceritakan
seperti apa wujud benda itu sehingga kalian seperti sangat ingin benda itu
kalian miliki?”
Guwarsa : “Kami hanya melihat sekilas wajah Anjani
saat ia memainkan benda itu. Dia seperti takjub dan tentu saja kami sangat
ingin tahu benda apakah itu sehingga ia berekspresi setakjub itu.”
Guwarsi : “Ayahanda, sesayang itukah engkau terhadap
Anjani daripada kami?”
Resi Gotama : “Apa maksud kau, Guwarsi? Tentu saja tidak!
Ayahanda membagi rata rasa sayang Ayahanda kepada kalian. Lagipula, Ayahanda
tidak merasa memberikan apapun kepada Anjani baru-baru ini.”
Guwarsa : “Pokoknya ini tidak adil, Ayahanda!
Siapapun yang memberikan sesuatu kepada salah satu dari kami ya seharusnya kami
semua dapat! Tidak boleh meng-anak-emaskan salah satu dari kami!”
Resi Gotama : “Tidak..tidak, Anakku. Ayahanda dan Ibunda kalian
sama sayangnya kepada kalian. Coba, kalian panggil Anjani, mari kita pecahkan
masalah ini bersama.”
Guwarsi : (dengan keberatan) “Baik, Ayahanda.”
Adegan
IV (Taman)
Guwarsi
pun pergi ke mencari Dewi Anjani sesuai perintah Ayahandanya. Dia mencari Dewi
Anjani kesana kemari hingga ia menemukan Dewi Anjani tengah bersama Ibundanya
yang sedari tadi mengadukan sikap adik-adiknya kepada Dewi Anjani.
Guwarsi : “Anjani, kau diperintah Ayahanda untuk
menemui beliau. Hah. Semoga kau menjadi tidak pelit lagi kepada kami, Anjani.”
Dewi Anjani : (mengancam Guwarsi dengan mengangkat tangannya
seperti akan menampar lagi, Guwarsa mengelak) “Kau! Jaga mulut kau, anak
nakal!”
Guwarsi : “Kau tidak akan dimaafkan kali ini,
Anjani. Lihat saja! Dengan senang hati, kami akan melihatmu bersujud meminta
maaf kepada kami dengan segera, Anjani.”
Dewi Windradi : “Sudah cukup, Guwarsi! Kau tidak
perlu melebih-lebihkan seperti itu!”
Guwarsi : “Ibunda sama saja. Kau hanya bisa membela
Anjani!”
Dewi Windradi : “CUKUP, GUWARSI! Ibunda akan
ikut serta mengantar kalian menghadap Ayahanda supaya kalian tidak bertengkar
terus!”
Guwarsi : “Bilang saja Ibunda akan membela Anjani.”
Adegan
V (Singggasana Resi Gotama)
Setelah
Dewi Anjani, Dewi Windradi, dan Guwarsi menghadap Resi Gotama, Resi Gotama
langsung membanjiri pertanyaan kepada Dewi Anjani.
Resi Gotama : “Dewi Anjani, anakku, benda apakah yang
dimaksudkan adik-adik kau ini sehingga membuat kalian bertengkar memperebutkan
benda itu?”
Dewi Anjani : “Wahai Ayahanda, sungguh. Benda itu bukanlah
apa-apa. Guwarsa dan Guwarsi saja yang selalu melebih-lebihkan semuanya.”
Resi Gotama : “Bisa Ayahanda melihat benda itu?”
Dewi Anjani : “Sudah Ayah, percaya pada Anjani. Benda itu tidak
penting. Mari lupakan saja masalah benda ini, Ayahanda.”
Resi Gotama : “TUNJUKKAN BENDA ITU KEPADAKU, ANJANI!”
Dewi Anjani : (langsung menunduk ketakutan, perlahan memberikan
Cupu Manik Astagina) “Ini, Ayah.”
Resi Gotama : (mengutak-atik Cupu Manik. Membukanya dan melihat
kekuatannya) “Wah, swargaloka. Apa nama benda ini, Anjani?”
Dewi Anjani : “Cu..cu..cupu Manik Astagina.”
Resi Gotama : “Dari mana kau mendapatkannya Anjani? Mengapa
adik-adikmu tidak boleh melihat benda ini? Seberharga itukah Cupu Manik
Astagina ini dibanding rasa kasih sayangmu terhadap adik-adikmu?”
Dewi Anjani “Tidak, Ayah. Benda itu memang tidak boleh
ditunjukkan kepada siapapun termasuk keluarga sendiri.”
Resi Gotama : “Siapakah yang mengatakannya, Anjani?”
(Dewi Anjani diam tidak berani
menjawab)
Resi Gotama : “Siapa orang itu, Anjani?!”
(tetap diam)
Resi Gotama : “JAWAB, ANJANI!”
Dewi Anjani : (kaget) “Eh..eh..i..i..ibunda. Ibunda lah yang
memberikan pusaka itu kepadaku, Ayahanda.”
Resi Gotama : (menatap Dewi Widradi tetapi masih berbicara
dengan Dewi Anjani) “Kau tahu alasan mengapa benda ini tidak boleh ditunjukkan
kepada siapapun, Anjani?”
Dewi Anjani : (masih menunduk) “Tidak, Ayah. Anjani sungguh
tidak tahu. Anjani hanya diamanatkan untuk tidak menunjukkan benda itu kepada
siapapun.”
Resi Gotama : (masih menatap Dewi Windradi yang menunduk,
berbicara dengan Dewi Windradi) “Apakah kau mengerti sekarang akibat kasih
sayangmu terhadap anak-anakmu tidak seimbang? Berat di Anjani, ringan di
Guwarsa dan Guwarsi? Apa kau mengerti sekarang ha?”
(Dewi Windradi diam)
Resi Gotama : “Sampai kapan? Sampai kapan kau tidak pernah adil
kepada anak-anak kita?! Lihatlah mereka sekarang! Bagaikan api dan air,
bermusuhan, dan tidak layak disebut keluarga!”
(Dewi Windradi diam)
Resi Gotama : “Beritahu aku, Windradi, dari mana kau
mendapatkan pusaka Cupu Manik ini! Beritahu aku sekarang!”
(Dewi Windradi diam)
Resi Gotama : “Kau tega melihat anak-anakmu terus bertengkar
karena memperebutkan pusaka yang kau berikan kepada Anjani? Siapapun orang itu,
aku tidak akan pernah memaafkannya! Siapa yang memberikan pusaka ini,
Windradi?!”
(Dewi Windradi diam)
Resi Gotama : “Oh, hanya sebatas inikah rasa saling percaya
kita?! Jawab sekarang atau kau akan menerima akibatnya! Sekali lagi, Windradi,
siapa yang memberimu pusaka Cupu Manik ini?!”
(Dewi Windradi tetap diam)
Resi Gotama : “Sungguh, aku sangat kecewa padamu. Kau telah
menguji kesabaranku. Kini, aku tidak akan lagi menahan kesabaranku. Kau sangat
tidak pecus menjadi seorang Ibu!”
Karena
kekesalan Resi Gotama terhadap Dewi Windradi yang terus diam saat ditanyai
darimana pusaka Cupu Manik Astagina itu berasal, akhirnya Dewi Windradi pun
dikutuk menjadi sebuah tugu oleh Resi Gotama. Sementara pusaka Cupu Manik
Astagina itu sendiri ia belah dan ia lemparkan ke Ayodya menjadi Telaga Nirmala dan tutupnya
dilemparkan ke hutan menjadi Telaga Sumala yang langsung dikejar oleh ketiga
anak-anaknya.
Adegan VI (Telaga Nirmala)
Guwarsa
dan Guwarsi mengejar pusaka itu hingga menemukan Telaga Nirmala. Mereka
berpikir telaga itu adalah telaga biasa. Mereka menceburkan diri ke dalam
Telaga Nirmala untuk mencari pusaka itu sambil bertengkar. Setelah menceburkan
diri, mereka masing-masing melihat seekor kera yang dirasa menghalangi
pencarian mereka. Lalu menyerang kera itu. Tapi, tanpa mereka sadari, ternyata
merekalah yang menjadi kera. Guwarsa dan Guwarsi menjadi kera karena
menceburkan diri ke dalam Telaga Nirmala.
Guwarsa : “Guwarsi, kau telah....? Kita menjadi kera,
Guwarsi! Bagaimana ini?!”
Guwarsi : “Tidak tidak tidak! Tidak mungkin!!
Bulu-bulu ini pasti hilang kalau kita bersihkan dengan air telaga ini!”
(menggosok tangannya membersihkan bulu di tangan)
Guwarsa : “Cukup, Guwarsi! Percuma! Atau mungkin,
justru karena telaga inilah kita sudah menjadi kera!”
Guwarsi : “Apa?! Bagaimana mungkin? Ini kan hanya
air?! Bagaimana bisa merubah manusia menjadi kera?!”
Guwarsa : “Apa kau sadar?! Kita berada di Hutan
Ayodya! Bukankah ini tempat bermain kita? Dan aku belum pernah melihat telaga
ini! Ini aneh. Padahal setahuku, Ayahanda membuang pusaka Cupu Manik itu ke
sini! Apa mungkin....?”
Guwarsi : “Kekuatan pusaka Cupu Maniklah yang
membuat telaga ini?”
Guwarsa : “Mungkin saja. Bagaimana ini? Bukankah Kak
Anjani ikut mengejar pusaka ini?”
Guwarsi : “Oh iya. Kau benar. Apa dia juga menjadi
kera?”
Adegan
VII (Hutan Ayodya)
Guwarsa
dan Guwarsi pun mencari Dewi Anjani ke segala penjuru Hutan Ayodya. Sementara
itu, Dewi Anjani yang kalah jauh dalam pengejaran Cupu Manik dengan
adik-adiknya ini sangat kelelahan dan beristirahat di tepi sebuah telaga. Ia
mencuci kaki, tangan, dan wajahnya.
Dewi Anjani : “Dasar adik-adik tidak berguna! Kalau saja mereka
tidak terlalu kekanakan ingin memiliki pusaka itu, Ibunda tidak akan dikutuk
menjadi tugu oleh Ayahanda dan aku tidak akan kelelahan seperti ini!”
Tak lama
kemudian, Dewi Anjani kembali mencuci wajahnya. Dan alangkah terkejutnya dia
hanya mendapati bayangan seorang kera di depan dia. Langsung saja dia
marah-marah tidak jelas karena wajahnya berubah menjadi seekor kera.
Dewi Anjani : “ASTAGA! Apa ini!! Ada apa dengan wajahku?!
Ke...ra... aku menjadi ke...ra...? Cobaan apalagi ini, Ayah?”
Dewi
Anjani melihat ada dua ekor kera lagi menghampirinya. Dan sekejap dia tahu
bahwa mereka adalah Guwarsa dan Guwarsi.
Dewi Anjani : “Gu..warsa? Guwarsi? Kaliankah itu? Aku Anjani!”
Guwarsa : “Iya, Kak. Kami Guwarsa dan Guwarsi. Kami
dan....kau menjadi...kera.”
Dewi Anjani : “Kalian...kalian tahu penyebabnya?”
Guwarsi : (bertatapan singkat dengan Guwarsa,
mengangguk) “Iya, Kak.”
Adegan
VIII (Singgasana Resi Gotama)
Lalu
Guwarsa dan Guwarsi memberitahu kira-kira penyebab mereka menjadi kera. Setelah
itu mereka memutuskan untuk pulang meminta maaf dengan Ayahanda mereka dan
memohon pada Ayahanda mereka untuk dijadikan ke wujud semula.
Dewi Anjani : “Ayahanda, apa yang terjadi pada kami? Mengapa
kami menjadi kera? Padahal kami hanya terkena air telaga.”
Guwarsi : “Betul, Ayahanda. Apakah air telaga yang
kami masuki terdapat kutukan? Tapi mengapa kami yang terkena kutukannya?”
Resi Gotama : “Itulah kalian. Kalian tidak tahu apa-apa. Kalian
tidak tahu bagaimana telaga itu terbentuk dan apa yang ada di dalam telaga itu.
Kalian hanya sibuk mengejar keinginan fana kalian. Itulah akibatnya.”
Guwarsa : “Memang, bagaimana telaga itu terbentuk?
Apakah ada hubungannya dengan apa pusaka Cupu Manik?”
Resi Gotama : “Justru telaga itu terbentuk karena karma dari
pusaka itu. Pikirlah kalian hanya memikirkan nafsu belaka tanpa memikir apa
akibatnya.
Dewi Anjani : “Lalu, apa yang harus kami lakukan supaya wujud
kami kembali seperti semula, Ayahanda?”
Resi Gotama : “Hmm... Ini adalah kutukan dosa. Kalian harus
bertapa.”
Guwarsi : “Bertapa?”
Resi Gotama : “Iya, kalian harus bertapa. Masing-masing akan
mendapat syarat tersendiri untuk bertapa.”
Guwarsi : “Apa saja itu, Ayahanda? Kami akan lakukan dengan baik asal
kami dapat kembali seperti semula dan bersih dari dosa kutukan ini.”
Resi Gotama : “Guwarsa?”
Guwarsa : “Ya, Ayahanda?”
Resi Gotama : “Kau harus bertapa seperti kelelawar dengan
menggantungkan kakimu di pohon dengan kepala di bawah, dan ganti namamu dengan
Subali. Guwarsi?”
Guwarsi : “Guwarsi harus bertapa seperti apa,
Ayahanda?”
Resi Gotama : “Ku harus bertapa seperti kijang. Kau harus
merangkak untuk berjalan, makan dedaunan, dan ganti namamu dengan Sugriwa. Dan
Anjani...”
Dewi Anjani : “Anjani siap dengan apa yang harus Anjani lakukan
asal dosa Anjani dapat diampuni, Ayahanda.”
Resi Gotama : “Anjani, kau harus bertapa dengan tubuh telanjang
dengan merendamkan tubuhmu sampai leher di Telaga Madirda yang airnya mengalir
ke sungai Yamuna.”
Dewi Anjani : “Baik, Ayahanda. Anjani akan lakukan.”
Resi Gotama : “Anak-anakku, kalian akan kuampuni asal
syarat-syarat yang sudah ku beritahu ke kalian sudah dilakukan dengan baik.
Sekarang, pergilah demi mensucikan dosa kalian!”
Mereka
bertiga pun pergi dengan tujuan masing-masing syarat tapa mereka. Guwarsa yang
harus bertapa seperti kelelawar dan berganti nama dengan Subali, Guwarsi yang
harus bertapa seperti kijang dan berganti nama dengan Sugriwa, serta Dewi
Anjani yang harus bertapa berendam telanjang.
Komentar
Posting Komentar